Ancaman Tarif Impor Furnitur AS, Dampak pada Pasar Lokal

Presiden Amerika Serikat (AS) kembali memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dengan mengumumkan rencana penerapan tarif tambahan terhadap impor produk furnitur. Pengumuman ini dilakukan melalui akun media sosial Truth Social, di mana Trump menyatakan sedang melakukan investigasi untuk menerapkan tarif yang akan selesai dalam 50 hari ke depan.

“Furnitur yang masuk dari negara lain ke Amerika Serikat akan dikenakan tarif dengan besaran yang masih akan ditentukan,” tulis Trump dalam unggahannya. Informasi ini langsung menyebar dan sampai di telinga para produsen furnitur Indonesia, termasuk PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD).

Investor Relations WOOD, Ravenal Arvense, mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini sedang memantau perkembangan regulasi AS yang dinamis. Nilai ekspor WOOD ke AS mencapai Rp 1,3 triliun di semester I 2025, atau sekitar 90% dari total ekspor. Sebanyak 85% dari ekspor tersebut adalah produk building components.

“Pasar ini merupakan importir terbesar dunia untuk produk furniture dan building components berbasis kayu,” jelas Ravenal. Meski begitu, WOOD tidak terlalu khawatir karena sejak 2024 telah menjajaki pasar baru dan mendiversifikasi produk. Kini, pasar WOOD mencakup Eropa dan Asia. Hingga Juni 2025, WOOD telah melakukan pengiriman perdana produk flooring senilai US$ 1 juta ke Eropa. Sementara untuk produk outdoor furniture, pengiriman perdana ke Eropa dijadwalkan pada September 2025.

Selain itu, WOOD juga tengah mempersiapkan ekspor ke Timur Tengah. Strategi ini diharapkan dapat memperluas pasar sekaligus mengurangi ketergantungan pada AS. Menurut Ravenal, kebijakan ini kemungkinan akan berdampak terbatas pada kinerja WOOD karena produk building components masih termasuk dalam daftar pengecualian tarif AS dalam beleid Annex II.

Dampak pada Industri Furnitur Nasional

Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, mengungkapkan bahwa rencana kebijakan ini bisa mengancam emiten-emiten furnitur karena porsi ekspor produk ini ke AS mencapai 53-54% dari total ekspor nasional. Jika tarif benar-benar diterapkan, daya saing furnitur Indonesia akan berkurang, sehingga bisa menekan margin dan kinerja emiten seperti WOOD, SOFA, MEJA, maupun CINT.

Untuk menangkis ancaman ini, menurut Ekky, emiten terkait perlu segera mendiversifikasi pasar ekspor di luar AS, seperti Asia Selatan, Timur Tengah, atau Eropa. Selain itu, peningkatan nilai tambah produk baik dari sisi desain, inovasi, maupun kualitas juga bisa membantu mempertahankan posisi produk furnitur di pasar global.

Tantangan dan Strategi Menghadapi Risiko

Namun, Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia, Muhammad Wafi, menilai risiko dari diversifikasi pasar ekspor adalah naiknya biaya produksi. Oleh karena itu, emiten terkait perlu cerdik dalam mengelola efisiensi bisnis. Terlebih, tantangan daya beli masyarakat yang masih rendah masih menghantui emiten furnitur hingga saat ini. “Dampak pemulihan daya beli baru bisa terlihat paling cepat di awal 2026,” taksir Wafi.

Di sisi lain, pemerintah menurut Wafi dapat ambil bagian dengan melakukan negosiasi terhadap AS. Bila tidak, pemerintah pun bisa mempertimbangkan untuk menyuntik subsidi terhadap produk ini.

Kondisi Pasar dan Perspektif Investor

Dari sisi kinerja, Ekky menilai emiten sektor furnitur masih relatif stagnan dan cenderung lesu. Oleh sebab itu, baik Ekky maupun Wafi masih mempertahankan wait and see terhadap saham emiten furnitur, menunggu adanya kepastian regulasi dan perbaikan permintaan global.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *