Kritik terhadap Kebijakan Ekonomi dan Tuntutan Reformasi
YOGYA – Aliansi Ekonom Indonesia mengajukan serangkaian tuntutan terkait kebijakan ekonomi yang dinilai tidak memadai dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat. Aliansi ini terdiri dari 383 ekonom dan 283 pemerhati ekonomi dari seluruh Indonesia serta diaspora. Dalam pernyataannya, anggota Aliansi Ekonom Indonesia, Elan Satriawan menyampaikan bahwa kualitas hidup masyarakat mengalami penurunan secara masif dan sistemik.
Menurutnya, meskipun ada tekanan global, kondisi ekonomi Indonesia tidak muncul secara mendadak. Penyebab utamanya adalah akumulasi proses kehidupan bernegara yang kurang amanah dan pengambilan kebijakan yang tidak dilakukan secara proper. Hal ini menyebabkan munculnya masalah ketidakadilan sosial, seperti pertumbuhan ekonomi yang turun dan tidak inklusif.
Dalam periode 2010-2020, perekonomian tumbuh sebesar 5,4 persen dan berhasil meningkatkan upah riil sebesar 5,1 persen. Namun, pada periode 2022-2024, setelah pulih dari pandemi, ekonomi tumbuh sebesar 5 persen, sementara upah riil hanya tumbuh 1,2 persen, artinya stagnan. Ini menunjukkan adanya ketimpangan yang semakin dalam.
Selain itu, Aliansi Ekonom Indonesia juga melihat adanya masalah serius pada ketimpangan berbagai dimensi. Peningkatan kesejahteraan kelompok bawah, rentan, dan menengah mandek, sementara kelompok atas tumbuh lebih pesat. Pertumbuhan rata-rata pengeluaran per kapita di periode 2018-2024 lebih lambat dibandingkan periode 2012-2018 dengan koreksi pertumbuhan sebesar 2 pon persentase.
Terdapat penyusutan ketersediaan lapangan kerja berkualitas bagi kebanyakan kalangan muda, yang merupakan aset bangsa. Dari sekitar 14 juta lapangan kerja baru yang tercipta pada 2018-2024, 80 persennya berada di sektor berbasis rumah tangga. Artinya, pekerjaan tersebut berada di sektor informal, dengan upah di bawah rata-rata nasional, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian keberlanjutan status pekerjaan.
Di sektor formal, baik publik maupun swasta, masih ada 25 persen pekerja di sektor publik atau pemerintah dan 31 persen pekerja swasta yang bahkan belum memiliki asuransi kesehatan dan jaminan lainnya. Tingkat pengangguran usia 15-24 tahun selama 2016-2024 selalu di atas 15 persen, atau tiga kali lipat dibandingkan usia 25-34 tahun. Lebih dari 25 persen anak muda Indonesia tidak produktif, tidak sedang bekerja dan tidak sekolah, khususnya perempuan.
Ekonom lainnya, Vivi Alatas mengungkapkan bahwa proses pengambilan kebijakan pemerintah tidak berdasarkan bukti dan minim teknokrasi. Hal ini menyebabkan misalokasi sumber daya, termasuk lemahnya tata kelola kelembagaan, serta kurangnya empati dan keterbukaan atas masukan dan kritik. Hasilnya, kebijakan dan program pemerintah tidak menjawab kebutuhan masyarakat.
Anggaran untuk Polri maupun Kementerian Pertahanan, termasuk TNI tumbuh hampir 6 kali lipat dari 2009-2026. Sedangkan anggaran untuk perlindungan sosial hanya tumbuh 2 kali lipat. Ada kenaikan anggaran lain dalam APBN beberapa tahun terakhir, yang mengimplikasikan buruknya perencanaan hingga menekan pembiayaan pada prioritas anggaran lain.
Contoh pengambilan kebijakan yang minim bukti dan teknokrasi adalah MBG yang alokasi anggaran 2026 sebesar Rp 335 triliun yang mencakup 44 persen anggaran pendidikan. Padahal masih banyak kualitas dan akses pendidikan yang belum teratasi. Kebijakan ini bukan hanya berpotensi menghabiskan anggaran, tetapi menjadi ancaman serius bagi reformasi pendidikan.
Aliansi Ekonom Indonesia memandang ketidakhadiran negara untuk perlindungan masyarakat dari risiko penghisapan sumber daya ekonomi, seperti maraknya pungutan liar pada usaha masyarakat dan judi online. Selain itu, tercederainya kontrak sosial negara dan masyarakat, termasuk tidak terpenuhinya kewajiban negara pada warganya.
Berkaca dari berbagai permasalah tersebut, Aliansi Ekonom Indonesia menyampaikan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi. Tujuh desakan tersebut antara lain:
- Memperbaiki secara menyeluruh mislokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.
- Mengembalikan independensi dan transparansi pada berbagai institusi penyelenggara negara, seperti BI, KPK, BPK, BPS, DPR, MA, MK, serta Kejaksaan.
- Menghentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal. Termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan.
- Mendesak adanya deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi, dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi.
- Memprioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.
- Mendorong pemerintah untuk mengembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan keputusan dan menghapus program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi.
- Meningkatkan kualitas institusi, membangun kepercayaan publik, dan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan.