Demo 17+8: Momentum Kehidupan dan Perjuangan Mahasiswa

Demo yang digelar pada akhir bulan Agustus hingga awal September 2025 menjadi momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Dengan tuntutan 17+8, ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Aksi ini tidak hanya sebagai bentuk protes terhadap sistem yang dianggap tidak adil, tetapi juga sebagai perwujudan semangat generasi muda dalam menjaga arah demokrasi yang lebih baik.

Namun, di balik suara sorak dan teriakan, ada sisi lain yang sering kali diabaikan: kesehatan fisik dan mental dari para peserta demo. Data yang dirangkum menunjukkan bahwa banyak mahasiswa mengalami cedera akibat bentrokan dengan aparat, bahkan beberapa korban jiwa. Selain luka fisik, trauma psikologis juga menjadi ancaman serius bagi peserta aksi.

Risiko Fisik yang Nyata

Aksi massa seperti demo 17+8 membutuhkan ketahanan fisik yang luar biasa. Para peserta harus berdiri selama berjam-jam, berdesak-desakan, bahkan berlari menghindari gas air mata. Paparan gas air mata dapat menyebabkan iritasi mata, batuk, sesak napas, dan bahkan memperparah penyakit asma. Penelitian dari WHO menunjukkan bahwa paparan berulang gas air mata dapat menyebabkan gangguan pernapasan jangka panjang jika tidak ditangani secara tepat.

Salah satu contoh nyata adalah Raka (nama samaran), seorang mahasiswa tingkat akhir dari Surakarta yang ikut dalam aksi di depan Gedung DPR. Ia mengalami kehilangan kesadaran karena menghirup gas air mata terlalu banyak. Setelah diberi pertolongan di posko medis darurat, ia akhirnya pulih setelah satu jam. Cerita Raka hanyalah salah satu dari ratusan kasus lainnya yang melibatkan siswa-siswi yang mengalami sesak napas, luka memar, bahkan patah tulang akibat bentrokan.

Beban Mental yang Sering Terlupakan

Selain risiko fisik, tekanan psikologis juga menjadi tantangan besar bagi peserta demo. Demonstrasi yang berujung bentrok dapat meninggalkan trauma, rasa takut, dan gejala post-traumatic stress disorder (PTSD). Studi dari University of California menemukan bahwa partisipan aksi protes dengan paparan kekerasan lebih rentan mengalami insomnia, mimpi buruk, dan kecemasan berkepanjangan.

Seorang mahasiswi dari Semarang, yang meminta namanya disamarkan, mengaku tidak bisa tidur selama dua malam setelah menyaksikan temannya dipukul oleh aparat. “Setiap saya melemparkan mata, saya seperti mendengar teriakan teman saya lagi,” katanya. Jika tidak mendapatkan dukungan psikologis, kondisi seperti ini dapat menurunkan motivasi belajar, memicu depresi, dan mengganggu kesehatan mental jangka panjang.

Sehat Berdemokrasi

Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat menjadi bukti kuat bahwa generasi muda peduli terhadap masa depan bangsa. Namun, semangat itu harus diimbangi dengan upaya menjaga kesehatan. Organisasi mahasiswa dapat memastikan ketersediaan air minum, masker, dan tim medis lapangan di setiap aksi, sekaligus mengedukasi peserta tentang cara menghadapi paparan gas air mata dan memberikan pertolongan pertama.

Kampus dan lembaga layanan kesehatan mental juga perlu membuka hotline atau klinik konseling gratis bagi mahasiswa yang mengalami trauma setelah aksi. Dengan begitu, mereka memiliki ruang aman untuk memulihkan diri. Pemerintah dan aparat keamanan pun memiliki tanggung jawab yang sama pentingnya, yakni menjaga agar aksi tidak berubah menjadi tragedi.

Demokrasi Butuh Tubuh yang Sehat

Demo tuntutan 17+8 bukan hanya tentang menuntut perbaikan DPR, partai politik, TNI, Polri, atau kebijakan ekonomi. Aksi ini merupakan momen pembelajaran demokrasi kolektif. Namun demokrasi hanya bisa berjalan jika para pengusungnya sehat, baik jasmani maupun rohani. Kisah Raka dan mahasiswi dari Bandung menjadi pengingat bahwa perjuangan politik tidak boleh merenggut kesehatan generasi muda.

Momentum ini seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa menjaga kesehatan mahasiswa sama pentingnya dengan menjaga kesehatan demokrasi. Kalau bukan kita yang akan menyuarakan semuanya, mau siapa lagi?

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *