Penggunaan Kendaraan Lapis Baja sebagai Senjata di Gaza
Di tengah konflik yang berlangsung lama, Israel kini menggunakan kendaraan lapis baja M113 yang sudah usang sebagai senjata baru di wilayah Gaza. Berbeda dengan truk logistik atau ambulans, kendaraan ini maju perlahan menuju pemukiman penduduk. Detik-detik sebelum ledakan besar mengguncang udara, warga hanya punya waktu singkat untuk merespons. Ledakan tersebut tidak hanya menghancurkan bangunan dalam radius ratusan meter, tetapi juga memicu kepanikan besar.
Taktik ini mirip dengan cara yang digunakan oleh kelompok ISIS, di mana kendaraan lapis baja diisi bahan peledak seberat 3 hingga 5 ton dan dikendalikan dari jarak jauh menuju area padat penduduk. Metode ini pertama kali ditemukan pada Mei 2024 di Jabalia, namun penggunaannya semakin luas seiring waktu. Video resmi yang dirilis oleh militer Israel menunjukkan bagaimana operasi ini dilakukan, serta menimbulkan reaksi internasional terhadap tindakan tersebut.
Pada Agustus 2025, di daerah Zeitoun, lebih dari 500 rumah hancur akibat ledakan bom kendaraan. Setiap ledakan diperkirakan menghancurkan area antara 100 hingga 300 meter persegi. Warga Gaza menyebutnya sebagai salah satu gelombang kerusakan terparah sejak awal konflik. Seorang penduduk yang rumahnya hancur mengatakan kepada media lokal: “Kami bahkan tidak sempat lari. Tiba-tiba ada kendaraan masuk, lalu semuanya gelap.”
Meski Israel sering menyebut bahwa serangan ini ditujukan pada infrastruktur Hamas, bukti di lapangan menunjukkan banyaknya korban sipil. Penggunaan M113—yang dulunya digunakan untuk mengangkut personel—menjadi ironis karena kini menjadi alat penghancur massal. Masih belum jelas jumlah pasti kendaraan yang telah diubah menjadi bom, tetapi laporan terbaru menunjukkan penggunaannya mencapai skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Para analis menyebut taktik ini bukan hanya strategi militer, tetapi juga senjata psikologis. Suara mesin M113 yang mendekat cukup untuk memicu kepanikan. “Ini strategi untuk menghancurkan psikologi lawan. Lebih dari sekadar senjata, ini teror dengan simbolisme,” ujar seorang pengamat pertahanan.
Foto Perpisahan Tawanan
Di tengah gelombang serangan darat dan udara, sayap bersenjata Hamas merilis foto yang mereka sebut sebagai “foto perpisahan” dari 48 tawanan Israel yang masih ditahan di Gaza. Pada 20 September 2025, Brigade Qassam mempublikasikan kolase wajah para tawanan—baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Semua foto itu diberi label “Ron Arad”, merujuk pada kapten Angkatan Udara Israel yang hilang di Lebanon pada 1986.
Teks yang menyertai gambar tersebut berbunyi: “Karena penolakan Netanyahu, dan kepasrahan Zamir, inilah foto perpisahan saat operasi militer di Kota Gaza dimulai.” Pernyataan itu mengacu pada sikap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang menolak kesepakatan dengan Hamas, serta Jenderal Eyal Zamir yang memimpin serangan darat dan udara besar-besaran, meski ia sendiri sebelumnya menentang rencana “penaklukan” Gaza City.
Otoritas Israel memperkirakan sekitar 20 tawanan masih hidup. Sementara Presiden AS Donald Trump menyebut jumlahnya mungkin lebih sedikit. Keduanya berulang kali berjanji akan memulangkan seluruh tawanan—hidup maupun mati—dan “menghancurkan Hamas.” Hamas menegaskan, invasi darat yang meluas justru membahayakan para tawanan, dengan sebagian dari mereka dikabarkan tewas akibat serangan udara Israel. Kelompok itu juga mengklaim para tawanan disebar di berbagai lingkungan Gaza City, yang kini ditetapkan sebagai zona tempur penuh.
Tekanan Politik di Tel Aviv
Ancaman Hamas itu muncul hanya beberapa jam sebelum ratusan ribu warga Israel kembali turun ke jalan di Tel Aviv dan kota-kota lain. Mereka mendesak pemerintah segera meneken perjanjian komprehensif untuk mengakhiri perang dan membawa pulang para tawanan. Sebelumnya, Hamas sempat merilis video tawanan dalam kondisi kurus dan lemah. Salah satunya bahkan ditunjukkan sedang menggali lubang yang disebut sebagai kuburnya sendiri. Tayangan itu memicu amarah keluarga tawanan dan kecaman dari pejabat Israel serta sekutu Barat.
Kini, dengan “foto perpisahan” terbaru, Hamas seolah menegaskan bahwa waktu terus menipis.
Korban Sipil yang Tak Terhitung
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza melaporkan, sejak agresi Zionis dimulai pada Oktober 2023, sedikitnya 65.208 warga Palestina telah terbunuh dan 166.271 lainnya luka-luka akibat operasi militer Israel. Sejak 18 Maret 2025, ketika gencatan senjata runtuh, korban bertambah 12.653 jiwa dan lebih dari 54.000 luka-luka. Dalam 24 jam terakhir, sedikitnya empat orang tewas dan 18 terluka saat antre bantuan makanan. Total korban tewas pencari bantuan kini mencapai 2.518 orang.