Fenomena Curhat dengan Chatbot AI yang Marak

Di era digital saat ini, fenomena curhat dengan chatbot kecerdasan buatan (AI) sedang marak. Tidak hanya di kalangan Gen Z dan Milenial, tetapi juga menjangkau usia lanjut atau lansia. Kehadiran AI seolah menjadi solusi untuk mengatasi rasa kesepian yang sering kita alami dalam lingkungan yang semakin digital. Banyak orang merasa bahwa AI lebih mudah diakses kapan pun dibutuhkan dan biayanya lebih terjangkau dibandingkan psikolog atau psikiater.

Namun, meskipun AI menawarkan banyak kemudahan, teknologi ini memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah risiko kesalahan diagnosis dan saran psikologis yang tidak akurat. Karena AI hanya dilatih berdasarkan pola data pengguna, tanpa empati atau pemahaman mendalam tentang kondisi mental manusia, maka AI rentan bias dan memberikan jawaban yang tidak tepat.

Kelemahan AI dalam Diagnosis Kesehatan Mental

Salah satu masalah utama dari penggunaan AI dalam konsultasi kesehatan mental adalah potensi salah diagnosis. Penelitian dari Google DeepMind menunjukkan bahwa AI bisa memberikan informasi dan diagnosis yang keliru, meskipun sistemnya dilatih menggunakan data yang sangat besar dan beragam. Hal ini terjadi karena AI hanya mampu bekerja dengan baik pada pola data yang terkontrol, sehingga kesulitan mengenali kondisi mental yang tidak biasa atau membutuhkan pengamatan jangka panjang.

Contohnya, AI akan kesulitan mengenali pasien dengan “smiling depression”, yaitu seseorang yang tampak bahagia namun sebenarnya sedang mengalami depresi berat. Sementara itu, psikolog dan psikiater terlatih untuk membaca bahasa tubuh, ekspresi, serta gejala-gejala yang tidak terucapkan oleh pasien. Mereka mampu mengenali tanda-tanda ketidaknormalan yang mungkin tidak terlihat oleh AI.

Risiko Halusinasi dan Penilaian Tidak Adil

Selain itu, AI rentan halusinasi, terutama ketika tidak memiliki basis data yang cukup untuk menjawab pertanyaan pengguna. AI juga mengumpulkan pengetahuan berdasarkan rekomendasi algoritme dari mesin pencari berbasis engagement, seperti Google dan YouTube. Akibatnya, AI sering kali memberikan jawaban yang tidak relevan atau tidak sesuai dengan situasi nyata.

Studi tahun 2025 dalam Journal of Medical Internet Research menemukan bahwa AI bisa berhalusinasi hingga mendorong pengguna untuk bunuh diri. Hal ini terjadi karena AI tidak memiliki kemampuan untuk menilai risiko kondisi lawan bicaranya yang memiliki tendensi menyakiti diri sendiri. Berbeda dengan psikolog dan psikiater yang memiliki pelatihan klinis untuk memahami diagnosis, menyusun tindakan yang sesuai, serta menilai risiko secara mendalam dengan pendekatan berbasis bukti.

Selain itu, AI juga rentan diskriminatif, terutama terhadap ras atau etnis tertentu. Ini terjadi karena data yang digunakan untuk melatih AI masih minim terkait kelompok minoritas. Akibatnya, AI bisa memberikan diagnosis yang keliru dan diskriminatif. Psikolog dan psikiater, di sisi lain, memiliki kode etik yang melarang tindakan diskriminatif terhadap pasien dan terlatih untuk memberikan respons yang tepat sesuai kondisi pasien.

Peran AI sebagai Pelengkap, Bukan Pengganti

Meski AI memiliki kelemahan, ia tetap bisa dimanfaatkan sebagai pelengkap dalam konsultasi kesehatan mental. Contohnya, AI bisa membantu praktisi merangkum transkrip sesi konsultasi dengan pasien, mengenalkan teknik terapi perilaku kognitif (CBT) dasar, memantau suasana hati, atau memberikan latihan pernapasan. Namun, dalam kasus-kasus yang lebih serius seperti trauma, depresi berat, atau pikiran bunuh diri, pendekatan yang penuh empati dan penanganan langsung dari profesional tetap mutlak diperlukan.

Memahami manusia bukan hanya soal algoritme, tapi juga membutuhkan keahlian, empati, dan pengalaman klinis. Oleh karena itu, meskipun AI bisa menjadi alat bantu, kita tetap perlu berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater untuk memastikan kesehatan mental kita terjaga dengan baik.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *