Pendekatan Baru dalam Mengukur Kesehatan Ekonomi
Di era modern saat ini, ukuran kesuksesan ekonomi tidak lagi hanya diukur dari pertumbuhan PDB. Banyak negara mulai menyadari bahwa angka PDB yang tinggi belum tentu berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi sering kali hanya meningkatkan angka tanpa memberikan manfaat nyata bagi kehidupan sehari-hari, seperti lapangan kerja, pendapatan, dan stabilitas sosial.
Banyak negara telah beralih ke pendekatan lain untuk mengukur kesehatan ekonomi mereka. Contohnya adalah Selandia Baru dengan pendekatan “Wellbeing Budget” yang menitikberatkan pada indikator-indikator seperti lapangan kerja, kesehatan mental, pendidikan, dan kesetaraan sosial. Dengan pendekatan ini, pemerintah bisa merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran dan memberikan manfaat nyata kepada rakyat.
Bhutan juga menjadi contoh lain, dengan Indeks Kebahagiaan Nasional Bruto (Gross National Happiness). Negara ini melihat ekonomi sebagai bagian dari kesejahteraan masyarakat, bukan hanya sekadar angka produksi barang dan jasa. Fokusnya mencakup kebahagiaan, lingkungan hidup, dan budaya, yang saling terkait satu sama lain.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menerapkan pendekatan serupa. Negara ini memiliki sumber daya manusia yang besar dan beragam, serta potensi investasi yang terus berkembang. Jika ekonomi diukur bukan hanya dari PDB, tetapi juga dari kesempatan kerja yang semakin banyak, pendapatan yang meningkat, konsumsi masyarakat yang sehat, dan stabilitas harga yang terjaga, maka akan lebih sesuai dengan kondisi riil masyarakat.
Bayangkan jika kesempatan kerja semakin luas, banyak orang bisa memiliki penghasilan yang lebih baik, sehingga konsumsi meningkat dan ekonomi bergerak lebih cepat. Investasi yang tumbuh juga akan mendukung sektor produksi, yang berarti lapangan kerja semakin bertambah. Stabilitas harga akan menjaga daya beli masyarakat agar tidak mudah goyah.
Sebagai solusi, Indonesia bisa menggunakan rumusan fungsi komposit yang menggabungkan beberapa indikator utama, seperti kesempatan kerja, pendapatan masyarakat, konsumsi, produksi, investasi, stabilitas harga, dan kesejahteraan sosial. Fungsi ini dapat menjadi indikator utama untuk memantau kesehatan ekonomi secara lebih menyeluruh. Dengan demikian, pemerintah dan pemangku kebijakan bisa membuat keputusan berdasarkan gambaran yang lengkap, bukan hanya angka PDB.
Selain itu, ada langkah konkret seperti rencana Menteri Keuangan yang akan memindahkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia ke perbankan HIMBARA. Dana tersebut memiliki potensi besar untuk menggerakkan ekonomi riil. Dengan dana di perbankan, likuiditas bisa mengalir ke sektor usaha, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada pengelolaan dan penyaluran dana yang tepat sasaran, agar tidak menimbulkan risiko seperti inflasi berlebih atau penyaluran kredit ke sektor nonproduktif.
Untuk memastikan efektivitas rumusan indikator dan kebijakan, kualitas dan konsistensi data harus dijaga dengan ketat. Tanpa data yang akurat dan terintegrasi antar lembaga, gambaran ekonomi yang diperoleh bisa meleset jauh dari kenyataan. Koordinasi antar institusi seperti BPS, BI, dan Kemenkeu sangat penting agar pemantauan indikator dapat dilakukan secara real-time dan responsif terhadap perubahan kondisi.
Transparansi dan pengawasan juga menjadi kunci agar dana pemerintah yang dikelola HIMBARA tidak disalahgunakan dan benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Pada akhirnya, ekonomi yang sehat bukan hanya tentang angka besar, tetapi juga tentang kepercayaan masyarakat dan kesejahteraan yang dirasakan sehari-hari.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan pengelolaan yang hati-hati, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk membangun ekonomi yang tidak hanya bergerak, tetapi juga sejahtera, dengan ukuran yang lebih manusiawi dan relevan dari sekadar PDB semata.